Tak Saling Menyapa

|

Processed with VSCO with m3 preset


Siang ini, teriknya matahari benar-benar meriah. Tapi dahaga telah disembuhkan oleh Asian Dolce Latte, serta sejuknya ruangan di dalam coffee shop ini. Sambil terdiam menatap layar monitor di mejaku, memoriku memutar kembali sebuah cerita pada meja di ruangan ini, tepat disudut pojok coffee shop. Tempat dimana pertama kali, kami habiskan 273 menit bersenda gurau sederhana, lalu jadi sebuah diskusi bermakna. Saat kau mulai tertawa. Karena, sebuah umpatan kesal ku. Tawamu membuat mata itu hampir tertutup, tapi aku masih bisa melihat warna kedua bola mata itu, memancarkan binar hijau gelap indah. Aku mengagumi tanpa melontarkan kalimat kagumku. Hanya ku tunjukkan sebuah simpul sederhana, senyum kecil di bibirku. Tersipu? Mungkin.. tapi tersipu ini sebuah kekacauan indah di benakku.

“Gue senang bisa berdiskusi banyak hal sama lu.” lanjutnya setelah tawa manis itu.
“Oh.. wait.. itu cuma opini gue, jadi lu ga harus sependapat dengan my point of view, you have your perspective, i respect that.”
“Eh, tapi ga semua hal bisa gue obrolin sama lu…” sambungnya
“I know, politic!“ ucapku menyela perkataannya.
“Yes haha.“ balasnya lagi dengan tawa singkat.
Hasrat memoriku siang ini benar-benar kejam. Membawaku seolah ada pada saat itu. Terngiang jelas, serta indah merasakan saat itu lagi. Jika dengan memutar mundur waktu di jam tangan, bisa membuatku kembali ke saat itu. Akan ku putar waktu di jam tanganku siang ini juga.
“Boleh ga kita ngomong berdua weekend ini? Aku ngerasa komunikasi kita lagi ga baik beberapa minggu ini.“ tanyaku melalui sebuah pesan instan. Tanpa menunggu lama, ponselku berbunyi menandakan sebuah pesan darinya.
“Aku ga bisa, weekend ini aku kerja. Kalo mau ngomong by text aja, atau nanti malem aku telpon.” balasnya.
“Aku pengen kita ngobrol langsung, kalau lewat text atau call, aku takut ada salah persepsi nantinya. Kapan kamu ada waktu senggang?” tanyaku lagi.
“Udahlah… text aja, atau ntar aku telpon.“
“Jay, aku mau ngomong langsung!” Paksaku.
“Aku lagi sibuk! Kenapa sih harus maksa untuk ketemu? Gini deh, aku rasa kita emang ga cocok buat hubungan ini, lebih baik kita udahan aja.”
Aku terkejut dalam diam. Berusaha kembali membaca pesan singkat darimu.
Mencerna tiap kata, dibalik arti dari kalimat itu. Sambil bertanya pada diri sendiri “benarkah harus seperti ini?“
“Kalau kamu ada waktu senggang, kabarin aku yah…“ balasku singkat, tanpa memaksanya juga bertanya kapan.
Sekejap ku benahi posisi sandaran punggungku pada kursi ini, dengan alih-alih memutuskan bayangan memori itu. Sambil menarik napas dalam, juga masih sedikit terasa sesak saat memori itu dibangunkan lagi. Mataku melirik jam di tangan kananku. Waktu sudah mulai memasuki petang. Aku rapikan perangkat monitorku serta buku ke dalam tas ku, untuk bangkit dan meninggalkan coffee shop ini. Lalu, pintu itu terbuka sebelum aku menghampiri.

Mataku dengan jelas mengenali cara berpakaian juga wajah lelaki itu. Ya… memoriku baru saja mengingatkanku tentang sosok ini. Matanya berpapasan dengan mataku, saat ia menoleh kearah kanan, tempat aku ingin melangkahkan kaki ke pintu itu. Aku dengan cepat berjalan keluar melewati pintu itu, sedangkan Dia melangkahkan kakinya ke depan tanpa menghiraukan kepergianku. Kami berdua bungkam, bersahabat dalam diam, masih bersudi dengan ego masing-masing. Tanpa mencoba mengucapkan sederhananya sebuah kata “hai“, saat mata kami berpapasan. Harus aku akui, kami masih terlena menyelimuti ego ini, hingga tak sudi lagi untuk saling menyapa.

-Dearmariana-

Xx

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *